Selamat Datang di Webside Gerakan Pemerhati Kepolisian (GPK RI).

Kenapa Mahasiswa Tidak Pukul Wakil Rakyat, Kok Polisi Jadi Korban?

Mahasiswa Pukul Polisi (Gambar - Istimewa)

GPKRI.ID
- Pada setiap gelombang demonstrasi yang mengguncang jalan-jalan ibu kota dan daerah, kita kembali diingatkan pada bayangan sejarah panjang gerakan mahasiswa Indonesia. Gerakan yang dulu—di tahun 1998—menggulingkan rezim otoriter dengan darah, air mata, dan tekad yang tak gentar. Tapi hari ini, bayangan itu seolah dicemari. Bukan oleh kekuasaan, tapi oleh kebingungan moral: mahasiswa memukul polisi, bukan wakil rakyat. Lantas, siapa sebenarnya musuh perjuangan ini?

Mari kita telanjangi logikanya. Polisi tidak membuat undang-undang. Polisi hanya menjalankan hukum yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)—lembaga legislatif yang seharusnya jadi target protes bila kebijakan dianggap menyimpang dari aspirasi rakyat.

 

Sesuai Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Artinya, jika Anda marah pada pasal-pasal bermasalah dalam RUU atau UU, marahlah pada DPR. Bukan pada polisi yang ditugaskan menjaga demonstrasi agar tidak berubah jadi kerusuhan.

 

Polisi bekerja berdasarkan mandat hukum, termasuk UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Jadi, jika seorang polisi berdiri di tengah panasnya demonstrasi, ia tidak sedang berperang melawan rakyat. Ia sedang mencoba menjaga agar rakyat tidak berperang satu sama lain.

Polisi jadi Korban Aksi Mahsiswa Trisakti Mei 2025
Namun, dalam banyak kejadian, kita justru menyaksikan ironi. Polisi dipukul, dilempari batu, dibakar dengan molotov, bahkan dihina di media sosial. Yang menyedihkan, tindakan itu datang dari mahasiswa—mereka yang katanya “intelektual pejuang”.

Kalau memang punya nyali, kenapa tidak langsung datang ke rumah dinas anggota DPR? Mereka yang menyetujui RUU atau UU, mereka yang bersepakat dalam rapat paripurna. Mereka yang semestinya jadi lawan debat, lawan protes, bahkan simbol perlawanan. Tapi sayangnya, mahasiswa tampaknya lebih nyaman menantang aparat daripada menghadapi wajah kekuasaan yang sebenarnya.

 

Kalau kamu benar-benar warisi semangat reformasi, maka jangan cemari sejarah. Reformasi tidak diperjuangkan dengan pentungan dan pembakaran, tapi dengan strategi, keberanian moral, dan narasi yang menggugah. Aksi yang melukai aparat adalah bentuk frustrasi, bukan perjuangan. Itu bukan simbol keberanian, tapi kebingungan.

 

Apakah kita ingin mengulang sejarah dengan cara yang salah? Atau kita mau menciptakan sejarah baru yang lebih elegan? Sebab, dalam dunia demokrasi, kekuasaan bukan ditumbangkan dengan kekerasan buta, tapi dengan tekanan publik, akal sehat, dan keberanian intelektual.

 

Lalu Harus Bagaimana?

 

Kalau merasa DPR tidak menjalankan aspirasi rakyat, gunakan hak sebagai warga negara. Gunakan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Tapi ingat, kebebasan itu bukan bebas merusak atau melukai.

 

Ajukan somasi terbuka. Kirim petisi. Datangi DPR RI/DPRD dengan surat resmi. Ajak media. Pakai data. Rancang konferensi pers. Desak panitia legislasi. Jika perlu, tempel wajah anggota dewan yang tak hadir di rapat pembahasan ke tiang listrik, rumah warga, pos ronda dan sebarkan spanduk di jalan raya, agar rakyat tahu siapa yang tidak bekerja. Itu cara cerdas!

 

Dan kalau memang aksi turun jalan adalah jalan terakhir, maka pastikan lawanmu bukan sesama rakyat. Polisi hanya penjaga keamanan. Mereka tidak membuat undang-undang. Kalau kamu pukul mereka, lalu apa bedanya kamu dengan preman jalanan?

 

Wahai mahasiswa, jangan biarkan amarah membutakan arah. Lawanmu bukan polisi di depan pagar gedung, tapi para politisi di dalamnya. Kalau kamu bilang reformasi belum selesai, pastikan kamu tidak melukai orang yang salah. Karena sejarah tidak akan berpihak pada mereka yang salah sasaran. 

  

Penulis : Abdullah Kelrey (Founder NIC/Ketua GPK RI)

0 Komentar